ISLAM DAN JARINGANPERDAGANGAN ANTAR PULAU
Islam
dan jaringan perdagangan antar pulau
•
Islam dan jaringan
perdagangan Antar pulau jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara
terbentuk karena antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di tempatnya.
untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang harus melengkapi diri
dengan pengetahuan tentang angin, , pembuatan kapal, dan kemampuan diplomasi
dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah saudagar-saudagar dan syahbandar
yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di Nusantara.
•
pelaut-pelaut Nusantara
juga telah mengetahui beberapa rasi bintang. Ketika berlayar pada siang
hari, mereka mencari pedoman arah pada pulau-pulau, gunung-gunung,
tanjung-tanjung, atau letak kedudukan matahari di langit. Pada malam hari
mereka memanfaatkan rasi bintang di langit yang cerah sebagai pedoman arahnya.
Para pelaut mengetahui bahwa rasi bintang pari berguna sebagai pedoman mencari
arah selatan dan rasi bintang biduk besar menjadi pedoman untuk menentukan arah
utara. hubungan perdagangan antarpulau di Indonesia sebelum tahun 1500 berpusat
di beberapa wilayah, antara lain Samudera Pasai, Sriwijaya, Melayu, Pajajaran,
Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore.
· Rasi bintang biduk besar
dan rasi bintang pari. Pada saat ini cara perdagangan dilakukan melalui system
barter (tukar menukar barang dengan barang). Sistem barter umumnya dilakukan
oleh para pedagang daerah pedalaman. Hal ini disebabkan kegiatan komunikasi
dengan daerah-daerah luar kurang lancer.
· Beberapa macam m,kjata uang
yang telah beredar pada saat itu adalah 1.Drama (Dirham), mata uang emas dari
Pedir
· Rasi bintang biduk besar
dan rasi bintang pari. Pada saat ini cara perdagangan dilakukan melalui system
barter (tukar menukar barang dengan barang). Sistem barter umumnya dilakukan
oleh para pedagang daerah pedalaman. Hal ini disebabkan kegiatan komunikasi
dengan daerah-daerah luar kurang lancer.
· Beberapa macam mata uang
yang telah beredar pada saat itu adalah 1.Drama (Dirham), mata uang emas dari
Pedir dan Samudera Pasai; 2.Tanga, mata uang perak dari Pedir3; 3.Ceiti, mata
uang timah dari Pedir; 4.Cash (Caxa), mata uang emas di Banten; 5.Picis, mata
uang kecil di Cirebon; 6.Dinara, mata uang emas dari Powa-Tallo; 7.Kupa, mata
uang emas kecil dari Powa-Tallo; 8.Benggolo, mata uang timah dari Powa-Tallo; Tumdaya,
mata uang emas di Pulau Jawa; dan 10.Mass, mata uang emas di Aceh Darussalam. Mata
uang asing yang telah digunakan dalam kegiatan perdagangan di Nusantara
antara lain Real (Arab); Yuan dan Cash (Cina2).
· Para pedagang Nusantara,
baik dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun pulau- pulau lain telah
berjasil menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan Johor di
Semenanjung Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma);
Campa di Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain. Perahu
yang dipakai dalam pelayaran di masa lalu.
· B. PERAN KEPULAUAN
INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DAN PELAYARAN DI ASIA TENGGARA SAMPAI ABAD KE-18
· Munculnya pusat-pusat
perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini:
•
1.Pemberi bekal untuk
berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
•
2.Pemberi tempat
istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
•
3.Pengumpul barang
komoditas yang diperlukan bangsa lain.
•
4.Penyedia tempat pemasaran
bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.
•
Peranan Sriwijaya
sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan
Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak
abad ke-13.
Perdagangan
antarpulau di Indonesia pada masa kuno
Kawasan nusantara terdiri
dari beribu-ribu pulau yang memanjang dari barat sampai ke timur. )iantara
pulau satu dengan lainnya itu telah terjalin hubungan yang berlangsung sejak
dulu, diantaranya hubungan perdagangan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan
Islam nusantara. Berlangsungnya interaksi perdagangan antara lain harus
didukung pengetahuan tentang angin. Indonesia yang diapit dua benua dan dua
samudera besar, wilayahnya dilalui garis khatulistiwa, sehingga Indonesia
memiliki iklim muson, yaitu iklim yang ditandai pergantian arah angin yang
berlangsung selama enam bulan sekali di daerah khatulistiwa. )engan
memanfaatkan pengetahuan tentang perubahan arah angin, maka di sekitar
bulan September-?ktober kapal-kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar
ke sebelah barat. Sebaliknya, pada sekitar bulan Maret-April kapal-kapal
berlayar dari barat ke arah timur.Semula kegiatan perdagangan di nusantara
bersi%at insidental, namun lambat laun terjadi perubahan menjadi kegiatan
yang berlangsung terus menerus, ramai, dan semakin menguntungkan. )engan
demikian muncullah beberapa pusat perdagangan yang dimiliki kerajaan-kerajaan
yang wilayahnya menjangkau pantai. Adapun pusat-pusat perdagangan sebelum tahun
1500 antara lain berpusat di sumatera tengah abad ke-5/6, sriwijaya abad ke-7/14,
melayu abad ke-14, bali abad ke-11, pajajaran abad ke-11, pajajaran abad ke-8
sampai ke-16, majapahit abad ke-13/14, gowa-tallo abad ke-2, ternate dan tidore
abad ke-13, samudera pasai abad ke-13, dan sebagainya.
Kegiatan perdagangan yang
berlangsung pada masa itu dilakukan dengan cara sistem barter (tukar menukar
barang dengan barang). Sedikit sekali penduduk yang telah melakukan tukar
menukar dengan menggunakan uang. Sistem barter umumnya dilakukan para pedagang
dari daerah pedalaman. Sebab, kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar
kurang begitu lancar. berlainan dengan di pedalaman, masyarakat daerah
pesisir pantai telah menjalin hubungan yang baik dengan pihak luar,
sehingga sebagian besar penduduk telah menggunakan mata uang dalam kegiatan
perdagangan.
Pola
Perdagangan dan pelayaran Antar Pulau di Indonesia.
Jaringan perdagangan dan
pelayaran antar pulau di Indonesia telah dimulai sejak abad pertama Masehi.
Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga
agama Hindu masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi
kawasan tengah yang dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur
perdagangan tersebut yang dikenal dengan nama
Jalur Sutra
Laut (Jalan Sutera lama/kuno via darat).
Jalur perniagaan dan
pelayaran tersebut melalui laut, yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina
Selatan kemudian
Selat
Malaka,
Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria)
sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut
Tengah.
Indonesia, melaui selat Malaka,
terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-rempah (komoditas utama),
seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan jenis
kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis dan hasil
sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia mampu menjadi salah satu
pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur & Asia
Barat (Timur Tengah dan semenanjung Arab), dengan Selat Malaka yang menjadi
pusat- pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.
Sekitar abad ke-7 hingga
abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang telah mampu menguasai perairan atau
perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Kerajaan
Majapahit (Jawa). Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut
mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu
diketahui, bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis,
iklim/cuaca, maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka
merupakan “kunci” penting. Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di
Nusantara bahkan jaringan dagang internasional Asia di dominasi oleh dua
Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang berbeda.
Sekitar abad ke-15 (setelah
Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di
Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan
pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan
Tuban dan Gresik (di pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito
dan distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah
asal Indonesia Timur (Maluku).
Bahkan, Tuban berkembang
menjadi bandar terbesar di Pulau (awa. Perkembangan perdagangan dan pelayaran
di perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru
seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.
Pada abad ke-15 sampai awal
abad ke-16, jalur perdagangan di asia Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar,
yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur perdagangan antara
Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan pelayaran antar pulau
di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para pedagang
yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan
bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke
Malaka, dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan
sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang berasal
dari luar (pedagang-pedagang Asia). Berkat komoditas “beras” dan letak
strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan
di dalam perdagangan dan pelayaran di $usantara. Terutama setelah Malaka jatuh
ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang kemudian akan memainkan peranan
penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama keberadaan
pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang akan mengambil peran penting di dalam
perdagangan di Jawa dan Nusantara.Sebelum bangsa Barat masuk ke
Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara.
Perdagangan dan pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara
Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di bagian timur, terutama
Maluku.
Perdagangan dan pelayaran
yang berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke
Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan. Disamping Malaka sebagai
pusat perdagangan dan juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat
kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore,
yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bercorak Islam di
Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore. Barang
dagangan yang dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari
pulau- pulau sekitarnya di bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang
penting seperti “asai” Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda
Kelapa. Pelabuhan- pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan
di pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti
kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar.
Pusat-Pusat
Perdagangan serta Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka.
Setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis (1511), pedagang-pedagang Islam memindahkan kegiatannya ke
pelabuhan-pelabuhan lain. Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan
usaha perdagangannya secara aman. Sehingga, penyaluran komoditas ekspor
(rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat
dikuasai.Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang sebelum Malaka jatuh sudah
ada kemudian menjadi berkembang pesat.
Pusat- pusat
perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis tahun 1511
antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan Tidore
· Para pedagang Nusantara,
baik dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun pulau- pulau lain telah
berjasil menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan Johor di
Semenanjung Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma);
Campa di Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain. Perahu
yang dipakai dalam pelayaran di masa lalu.
· B. PERAN KEPULAUAN
INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DAN PELAYARAN DI ASIA TENGGARA SAMPAI ABAD KE-18
· Munculnya pusat-pusat
perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini:
•
1.Pemberi bekal untuk
berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
•
2.Pemberi tempat
istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
•
3.Pengumpul barang
komoditas yang diperlukan bangsa lain.
•
4.Penyedia tempat pemasaran
bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.
•
Peranan Sriwijaya
sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan
Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak
abad ke-13.
Perdagangan
antarpulau di Indonesia pada masa kuno
Kawasan nusantara terdiri
dari beribu-ribu pulau yang memanjang dari barat sampai ke timur. )iantara
pulau satu dengan lainnya itu telah terjalin hubungan yang berlangsung sejak
dulu, diantaranya hubungan perdagangan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan
Islam nusantara. Berlangsungnya interaksi perdagangan antara lain harus
didukung pengetahuan tentang angin. Indonesia yang diapit dua benua dan dua
samudera besar, wilayahnya dilalui garis khatulistiwa, sehingga Indonesia
memiliki iklim muson, yaitu iklim yang ditandai pergantian arah angin yang
berlangsung selama enam bulan sekali di daerah khatulistiwa. )engan
memanfaatkan pengetahuan tentang perubahan arah angin, maka di sekitar
bulan September-?ktober kapal-kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar
ke sebelah barat. Sebaliknya, pada sekitar bulan Maret-April kapal-kapal
berlayar dari barat ke arah timur.Semula kegiatan perdagangan di nusantara
bersi%at insidental, namun lambat laun terjadi perubahan menjadi kegiatan
yang berlangsung terus menerus, ramai, dan semakin menguntungkan. )engan
demikian muncullah beberapa pusat perdagangan yang dimiliki kerajaan-kerajaan
yang wilayahnya menjangkau pantai. Adapun pusat-pusat perdagangan sebelum tahun
1500 antara lain berpusat di sumatera tengah abad ke-5/6, sriwijaya abad ke-7/14,
melayu abad ke-14, bali abad ke-11, pajajaran abad ke-11, pajajaran abad ke-8
sampai ke-16, majapahit abad ke-13/14, gowa-tallo abad ke-2, ternate dan tidore
abad ke-13, samudera pasai abad ke-13, dan sebagainya.
Kegiatan perdagangan yang
berlangsung pada masa itu dilakukan dengan cara sistem barter (tukar menukar
barang dengan barang). Sedikit sekali penduduk yang telah melakukan tukar
menukar dengan menggunakan uang. Sistem barter umumnya dilakukan para pedagang
dari daerah pedalaman. Sebab, kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar
kurang begitu lancar. berlainan dengan di pedalaman, masyarakat daerah
pesisir pantai telah menjalin hubungan yang baik dengan pihak luar,
sehingga sebagian besar penduduk telah menggunakan mata uang dalam kegiatan
perdagangan.
Pola
Perdagangan dan pelayaran Antar Pulau di Indonesia.
Jaringan perdagangan dan
pelayaran antar pulau di Indonesia telah dimulai sejak abad pertama Masehi.
Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga
agama Hindu masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi
kawasan tengah yang dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur
perdagangan tersebut yang dikenal dengan nama
Jalur Sutra
Laut (Jalan Sutera lama/kuno via darat).
Jalur perniagaan dan
pelayaran tersebut melalui laut, yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina
Selatan kemudian
Selat
Malaka,
Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria)
sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut
Tengah.
Indonesia, melaui selat Malaka,
terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-rempah (komoditas utama),
seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan jenis
kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis dan hasil
sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia mampu menjadi salah satu
pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur & Asia
Barat (Timur Tengah dan semenanjung Arab), dengan Selat Malaka yang menjadi
pusat- pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.
Sekitar abad ke-7 hingga
abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang telah mampu menguasai perairan atau
perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Kerajaan
Majapahit (Jawa). Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut
mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu
diketahui, bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis,
iklim/cuaca, maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka
merupakan “kunci” penting. Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di
Nusantara bahkan jaringan dagang internasional Asia di dominasi oleh dua
Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang berbeda.
Sekitar abad ke-15 (setelah
Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di
Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan
pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan
Tuban dan Gresik (di pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito
dan distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah
asal Indonesia Timur (Maluku).
Bahkan, Tuban berkembang
menjadi bandar terbesar di Pulau (awa. Perkembangan perdagangan dan pelayaran
di perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru
seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.
Pada abad ke-15 sampai awal
abad ke-16, jalur perdagangan di asia Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar,
yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur perdagangan antara
Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan pelayaran antar pulau
di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para pedagang
yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan
bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke
Malaka, dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan
sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang berasal
dari luar (pedagang-pedagang Asia). Berkat komoditas “beras” dan letak
strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan
di dalam perdagangan dan pelayaran di $usantara. Terutama setelah Malaka jatuh
ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang kemudian akan memainkan peranan
penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama keberadaan
pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang akan mengambil peran penting di dalam
perdagangan di Jawa dan Nusantara.Sebelum bangsa Barat masuk ke
Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara.
Perdagangan dan pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara
Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di bagian timur, terutama
Maluku.
Perdagangan dan pelayaran
yang berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke
Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan. Disamping Malaka sebagai
pusat perdagangan dan juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat
kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore,
yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bercorak Islam di
Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore. Barang
dagangan yang dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari
pulau- pulau sekitarnya di bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang
penting seperti “asai” Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda
Kelapa. Pelabuhan- pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan
di pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti
kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar.
Pusat-Pusat
Perdagangan serta Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka.
Setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis (1511), pedagang-pedagang Islam memindahkan kegiatannya ke
pelabuhan-pelabuhan lain. Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan
usaha perdagangannya secara aman. Sehingga, penyaluran komoditas ekspor
(rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat
dikuasai.Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang sebelum Malaka jatuh sudah
ada kemudian menjadi berkembang pesat.
Pusat- pusat
perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis tahun 1511
antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan Tidore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar