Sabtu, 13 Agustus 2016

Islam dan jaringan perdagangan antar pulau




ISLAM DAN JARINGANPERDAGANGAN ANTAR PULAU

Islam dan jaringan perdagangan antar pulau
 
 Islam dan jaringan perdagangan Antar pulau jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk karena antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di tempatnya. untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang harus melengkapi diri dengan pengetahuan tentang angin, , pembuatan kapal, dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah saudagar-saudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di  Nusantara.
pelaut-pelaut Nusantara juga telah mengetahui beberapa rasi bintang. Ketika berlayar  pada siang hari, mereka mencari pedoman arah pada pulau-pulau, gunung-gunung, tanjung-tanjung, atau letak kedudukan matahari di langit. Pada malam hari mereka memanfaatkan rasi bintang di langit yang cerah sebagai pedoman arahnya. Para pelaut mengetahui bahwa rasi bintang pari berguna sebagai pedoman mencari arah selatan dan rasi bintang biduk besar menjadi pedoman untuk menentukan arah utara. hubungan  perdagangan antarpulau di Indonesia sebelum tahun 1500 berpusat di beberapa wilayah, antara lain Samudera Pasai, Sriwijaya, Melayu, Pajajaran, Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore.

·       Rasi bintang biduk besar dan rasi bintang pari. Pada saat ini cara perdagangan dilakukan melalui system barter (tukar menukar barang dengan barang). Sistem barter umumnya dilakukan oleh para pedagang daerah pedalaman. Hal ini disebabkan kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang lancer.
·       Beberapa macam m,kjata uang yang telah beredar pada saat itu adalah 1.Drama (Dirham), mata uang emas dari Pedir
·       Rasi bintang biduk besar dan rasi bintang pari. Pada saat ini cara perdagangan dilakukan melalui system barter (tukar menukar barang dengan barang). Sistem barter umumnya dilakukan oleh para pedagang daerah pedalaman. Hal ini disebabkan kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang lancer.
·       Beberapa macam mata uang yang telah beredar pada saat itu adalah 1.Drama (Dirham), mata uang emas dari Pedir dan Samudera Pasai; 2.Tanga, mata uang perak dari Pedir3; 3.Ceiti, mata uang timah dari Pedir; 4.Cash (Caxa), mata uang emas di Banten; 5.Picis, mata uang kecil di Cirebon; 6.Dinara, mata uang emas dari Powa-Tallo; 7.Kupa, mata uang emas kecil dari Powa-Tallo; 8.Benggolo, mata uang timah dari Powa-Tallo; Tumdaya, mata uang emas di Pulau Jawa; dan 10.Mass, mata uang emas di Aceh Darussalam. Mata uang asing yang telah digunakan dalam kegiatan perdagangan di  Nusantara antara lain Real (Arab); Yuan dan Cash (Cina2).
·       Para pedagang Nusantara, baik dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun pulau- pulau lain telah berjasil menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan Johor di Semenanjung Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma); Campa di Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain. Perahu yang dipakai dalam pelayaran di masa lalu.
 
·       B. PERAN KEPULAUAN INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DAN PELAYARAN DI ASIA TENGGARA SAMPAI ABAD KE-18

·       Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini:
 1.Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
 2.Pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3.Pengumpul barang komoditas yang diperlukan bangsa lain.
4.Penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh  Nusantara.
 Peranan Sriwijaya sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak abad ke-13.
Perdagangan antarpulau di Indonesia pada masa kuno
Kawasan nusantara terdiri dari beribu-ribu pulau yang memanjang dari barat sampai ke timur. )iantara pulau satu dengan lainnya itu telah terjalin hubungan yang berlangsung sejak dulu, diantaranya hubungan perdagangan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Berlangsungnya interaksi perdagangan antara lain harus didukung pengetahuan tentang angin. Indonesia yang diapit dua benua dan dua samudera besar, wilayahnya dilalui garis khatulistiwa, sehingga Indonesia memiliki iklim muson, yaitu iklim yang ditandai pergantian arah angin yang  berlangsung selama enam bulan sekali di daerah khatulistiwa. )engan memanfaatkan  pengetahuan tentang perubahan arah angin, maka di sekitar bulan September-?ktober kapal-kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar ke sebelah barat. Sebaliknya, pada sekitar  bulan Maret-April kapal-kapal berlayar dari barat ke arah timur.Semula kegiatan perdagangan di nusantara bersi%at insidental, namun lambat laun terjadi  perubahan menjadi kegiatan yang berlangsung terus menerus, ramai, dan semakin menguntungkan. )engan demikian muncullah beberapa pusat perdagangan yang dimiliki kerajaan-kerajaan yang wilayahnya menjangkau pantai. Adapun pusat-pusat perdagangan sebelum tahun 1500 antara lain berpusat di sumatera tengah abad ke-5/6, sriwijaya abad ke-7/14, melayu abad ke-14, bali abad ke-11, pajajaran abad ke-11, pajajaran abad ke-8 sampai ke-16, majapahit abad ke-13/14, gowa-tallo abad ke-2, ternate dan tidore abad ke-13, samudera pasai abad ke-13, dan sebagainya.
 
Kegiatan perdagangan yang berlangsung pada masa itu dilakukan dengan cara sistem barter (tukar menukar barang dengan barang). Sedikit sekali penduduk yang telah melakukan tukar menukar dengan menggunakan uang. Sistem barter umumnya dilakukan para pedagang dari daerah pedalaman. Sebab, kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang begitu lancar.  berlainan dengan di pedalaman, masyarakat daerah pesisir pantai telah menjalin hubungan yang  baik dengan pihak luar, sehingga sebagian besar penduduk telah menggunakan mata uang dalam kegiatan perdagangan.

Pola Perdagangan dan pelayaran Antar Pulau di Indonesia. 
Jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia telah dimulai sejak abad pertama Masehi. Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga agama Hindu masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur perdagangan tersebut yang dikenal dengan nama
 Jalur Sutra Laut  (Jalan Sutera lama/kuno via darat).

Jalur perniagaan dan pelayaran tersebut melalui laut, yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina Selatan kemudian
 Selat Malaka, Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.

Indonesia, melaui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-rempah (komoditas utama), seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia mampu menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur & Asia Barat (Timur Tengah dan semenanjung Arab), dengan Selat Malaka yang menjadi pusat- pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.

Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Kerajaan Majapahit (Jawa). Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu diketahui,  bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis, iklim/cuaca, maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka merupakan “kunci” penting. Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di  Nusantara bahkan jaringan dagang internasional Asia di dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang berbeda.

Sekitar abad ke-15 (setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang  bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan  pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan Gresik (di pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito dan distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia Timur (Maluku).
Bahkan, Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau (awa. Perkembangan perdagangan dan pelayaran di  perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.

Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan  pelayaran antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para  pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan  bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka, dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang  berasal dari luar (pedagang-pedagang Asia). Berkat komoditas “beras” dan letak strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan di dalam perdagangan dan pelayaran di $usantara. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang akan mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan  Nusantara.Sebelum bangsa Barat masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara. Perdagangan dan  pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan  pulau-pulau di bagian timur, terutama Maluku.

Perdagangan dan pelayaran yang  berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan. Disamping Malaka sebagai pusat perdagangan dan  juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore, yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang  bercorak Islam di Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore. Barang dagangan yang dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau- pulau sekitarnya di bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang penting seperti “asai” Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda Kelapa. Pelabuhan- pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di  pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar.

Pusat-Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), pedagang-pedagang Islam memindahkan kegiatannya ke pelabuhan-pelabuhan lain. Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Sehingga,  penyaluran komoditas ekspor (rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai.Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi berkembang pesat.
Pusat- pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke
 
tangan Portugis tahun 1511 antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan Tidore


dan Samudera Pasai; 2.Tanga, mata uang perak dari Pedir3; 3.Ceiti, mata uang timah dari Pedir; 4.Cash (Caxa), mata uang emas di Banten; 5.Picis, mata uang kecil di Cirebon; 6.Dinara, mata uang emas dari Powa-Tallo; 7.Kupa, mata uang emas kecil dari Powa-Tallo; 8.Benggolo, mata uang timah dari Powa-Tallo; Tumdaya, mata uang emas di Pulau Jawa; dan 10.Mass, mata uang emas di Aceh Darussalam. Mata uang asing yang telah digunakan dalam kegiatan perdagangan di  Nusantara antara lain Real (Arab); Yuan dan Cash (Cina2).
·       Para pedagang Nusantara, baik dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun pulau- pulau lain telah berjasil menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan Johor di Semenanjung Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma); Campa di Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain. Perahu yang dipakai dalam pelayaran di masa lalu.
 
·       B. PERAN KEPULAUAN INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DAN PELAYARAN DI ASIA TENGGARA SAMPAI ABAD KE-18

·       Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini:
 1.Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
 2.Pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3.Pengumpul barang komoditas yang diperlukan bangsa lain.
4.Penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh  Nusantara.
 Peranan Sriwijaya sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak abad ke-13.
Perdagangan antarpulau di Indonesia pada masa kuno
Kawasan nusantara terdiri dari beribu-ribu pulau yang memanjang dari barat sampai ke timur. )iantara pulau satu dengan lainnya itu telah terjalin hubungan yang berlangsung sejak dulu, diantaranya hubungan perdagangan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Berlangsungnya interaksi perdagangan antara lain harus didukung pengetahuan tentang angin. Indonesia yang diapit dua benua dan dua samudera besar, wilayahnya dilalui garis khatulistiwa, sehingga Indonesia memiliki iklim muson, yaitu iklim yang ditandai pergantian arah angin yang  berlangsung selama enam bulan sekali di daerah khatulistiwa. )engan memanfaatkan  pengetahuan tentang perubahan arah angin, maka di sekitar bulan September-?ktober kapal-kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar ke sebelah barat. Sebaliknya, pada sekitar  bulan Maret-April kapal-kapal berlayar dari barat ke arah timur.Semula kegiatan perdagangan di nusantara bersi%at insidental, namun lambat laun terjadi  perubahan menjadi kegiatan yang berlangsung terus menerus, ramai, dan semakin menguntungkan. )engan demikian muncullah beberapa pusat perdagangan yang dimiliki kerajaan-kerajaan yang wilayahnya menjangkau pantai. Adapun pusat-pusat perdagangan sebelum tahun 1500 antara lain berpusat di sumatera tengah abad ke-5/6, sriwijaya abad ke-7/14, melayu abad ke-14, bali abad ke-11, pajajaran abad ke-11, pajajaran abad ke-8 sampai ke-16, majapahit abad ke-13/14, gowa-tallo abad ke-2, ternate dan tidore abad ke-13, samudera pasai abad ke-13, dan sebagainya.
 
Kegiatan perdagangan yang berlangsung pada masa itu dilakukan dengan cara sistem barter (tukar menukar barang dengan barang). Sedikit sekali penduduk yang telah melakukan tukar menukar dengan menggunakan uang. Sistem barter umumnya dilakukan para pedagang dari daerah pedalaman. Sebab, kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang begitu lancar.  berlainan dengan di pedalaman, masyarakat daerah pesisir pantai telah menjalin hubungan yang  baik dengan pihak luar, sehingga sebagian besar penduduk telah menggunakan mata uang dalam kegiatan perdagangan.

Pola Perdagangan dan pelayaran Antar Pulau di Indonesia. 
Jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia telah dimulai sejak abad pertama Masehi. Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga agama Hindu masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur perdagangan tersebut yang dikenal dengan nama
 Jalur Sutra Laut  (Jalan Sutera lama/kuno via darat).

Jalur perniagaan dan pelayaran tersebut melalui laut, yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina Selatan kemudian
 Selat Malaka, Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.

Indonesia, melaui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-rempah (komoditas utama), seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia mampu menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur & Asia Barat (Timur Tengah dan semenanjung Arab), dengan Selat Malaka yang menjadi pusat- pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.

Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Kerajaan Majapahit (Jawa). Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu diketahui,  bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis, iklim/cuaca, maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka merupakan “kunci” penting. Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di  Nusantara bahkan jaringan dagang internasional Asia di dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang berbeda.

Sekitar abad ke-15 (setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang  bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan  pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan Gresik (di pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito dan distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia Timur (Maluku).
Bahkan, Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau (awa. Perkembangan perdagangan dan pelayaran di  perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.

Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan  pelayaran antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para  pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan  bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka, dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang  berasal dari luar (pedagang-pedagang Asia). Berkat komoditas “beras” dan letak strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan di dalam perdagangan dan pelayaran di $usantara. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang akan mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan  Nusantara.Sebelum bangsa Barat masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara. Perdagangan dan  pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan  pulau-pulau di bagian timur, terutama Maluku.

Perdagangan dan pelayaran yang  berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan. Disamping Malaka sebagai pusat perdagangan dan  juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore, yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang  bercorak Islam di Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore. Barang dagangan yang dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau- pulau sekitarnya di bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang penting seperti “asai” Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda Kelapa. Pelabuhan- pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di  pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar.

Pusat-Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), pedagang-pedagang Islam memindahkan kegiatannya ke pelabuhan-pelabuhan lain. Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Sehingga,  penyaluran komoditas ekspor (rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai.Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi berkembang pesat.
Pusat- pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke
 
tangan Portugis tahun 1511 antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan Tidore.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar